Penemu Bentor Pertama Yang Terlupakan, Simak Kisahnya


SEARCH DISINI :

TOPIKTREND.COM, Hidup memang tak selamanya sesuai dengan harapan, jasa setiap manusia tidak semua diingat oleh manusia lainnya, sebagaimana didunia barat, hampir semua penemu yang berjasa bagi kelangsungan hidup manusia selalu masuk dalam sejarah dan mendapatkan penghargaan agar selalu diingat dalam sejarah turun-temuru, bagaimana di negeri kita? apakah tetap diingat? ada sih yang diingat dan dihargai, namun ada sebagian lainnya yang terlupakan padahal jasanya sangat bermanfaat bagi orang lain sejak dari masanya hingga masa sekarang.

Di daerah gorontalo ada sebuah kendaraan yang bisa ditumpangi oleh 3 orang namanya bentor, alat transportasi satu ini menjadi transportasi khas gorontalo, nah siapa penemunya? baca kisahnya sampai akhir ya?

Read More

Dikutip dari kronologi.id, Saya salah sejak mengira sebutan ‘inventor’ atau penemu itu hanya bisa digunakan untuk merujuk orang-orang besar seperti Einstein, Edison, Whitehead, dst., yang bersekolah dan mendapatkan gelar di perguruan tinggi sohor dunia. Nyatanya, Ferry Hasan, penemu ‘Becak n Motor’ atau Bentor juga adalah inventor, lebih-lebih mungkin seorang profesor—jika gelar ini tidak hanya digunakan oleh para guru besar.

Cerita tentang Ferry sang inventor Bentor ini diabadikan di dalam sebuah Jurnal Kebudayaan Tanggomo (Edisi III Agustus-Oktober 2011). Jurnal ini besutan Syam Terrajana, Basri Amin, Jamil Massa, dkk. Tanggomo edisi ini beranak-tajuk ‘Selamat Datang di Kota Bentorpolitan’. Ada kurang lebih 14 tulisan dengan pembahasan berbeda yang terangkum di dalam jurnal ini dan semuanya ditulis dengan bahasa yang khas dan puitik. Sayang, jurnal tanggomo ini hanya terbit sebanyak empat edisi.

Padahal, jika tidak keliru, boleh jadi ini adalah tonggak literasi kebudayaan yang digerakkan Gorontalo setelah Po-Noewa besutan Gorontalo Institut di tahun 1932. Po-Noewa pun bernasib sama. Publikasinya juga hanya terbit 8 edisi, terhitung dari 30 November 1932 sampai 30 Juni 1933. Tapi jika dihitung-hitung, ada rentang hampir seabad agar sebuah jurnal kebudayaan Gorontalo dapat berdiri lagi. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan Tanggomo berhenti terbit. Namun jika melihat sejarah Po-Noewa yang juga roboh lantaran masalah finansial, barangkali Tanggomo juga demikian. Saya tak tahu dan hanya menebak-nebak.

Kisah Ferry ini diceritakan oleh Syam Terrajana, seniman sekaligus pimpinan redaksi Jurnal Tanggomo pada waktu itu dengan judul The Legend of Becak N’ Motor. Tulisan ini mengambil sudut pandang etnografis dalam artian, memfokuskan seluruh esensi dalam tulisan kepada satu aktor tunggal, yakni Ferry Hasan, si inventor Bentor pertama, namun juga tidak melepaskan beberapa aktor kunci lainnya sebagai subjek sekunder dalam pengambilan data. Syam juga sangat piaway dalam melihat kait-kelindan sosial-politik saat itu yang menjadi cikal-bakal munculnya Bentor di Gorontalo.

Bertahan di tengah Krisis

Kisah Ferry dimulai dengan ilusi Orde Baru yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat pemuja Soeharto sebagai sebuah fase perjalanan bangsa Indonesia yang memiliki pertumbuhan perekonomian yang baik. Orang-orang juga percaya bahwa di bawah rezim developmentalisme Soeharto, Indonesia merupakan negara yang telah berdikari secara politik. Sayang, Soeharto menggunakan kuasanya untuk melegalkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di bawah rezim yang despotik dan otoriter. Alhasil, Krisis Moneter terjadi. Pada tahun 1998, gerakan mahasiswa pecah. Soeharto terdesak, dan akhirnya turun dari tampuk jabatan kepresidenan yang diembannya lebih dari 30 tahun.

Siapa Ferry di dalam turbulensi ekonomi dan politik di masa-masa krisis itu? Masyarakat biasa. Ia bukanlah salah satu mentri, pejabat tinggi, pengusaha, PNS, atau bahkan mahasiswa yang terlibat dalam gerakan yang menandai transisi Orba menuju Reformasi di tahun 1998. Ferry hanyalah pemilik bengkel motor bernama “Bina Mulia” yang dirintis sejak 1982 untuk menopang hidup keluarganya. Sebaliknya, Ferry justru adalah korban dari krisis moneter yang menyebabkan PHK di mana-mana, pengangguran berserak, dan bahan pokok yang naik berlipat-lipat. Ferry tak kuat bertahan di tengah krisis. Alhasil, bengkelnya terpaksa tutup lantaran dihajar wabah nasional itu.

Namun Ferry bukanlah pengecut. Ia adalah seorang martir yang berjuang demi kehidupan keluarga. Ferry memutar akal. Asbab bagaimana pun juga, dapur harus tetap mengepul, anak-anak harus bersekolah. Ia lalu berinisiatif membeli dua unit becak dengan sisa yang yang ada. Dari seorang bos bengkel, Ferry berubah menjadi pengayuh becak. Ia melakoni pekerjaan itu seharian penuh. Saya tak tahu berapa banyak keringat yang berhasil disulapnya menjadi pundi-pundi rupiah. Namun satu hal yang saya tahu, sebagaimana Syam mengabadikan perjuangan ini melalui satu kalimat dalam tulisannya dengan begitu heroik, bahwa “pokoknya [roda-roda besi becak ini] harus bergerak, keluarga harus dihidupi, hanya itu semangatnya”.

Satu hari, pikiran nakal menghampiri Ferry. Naluri otomotifnya meletup. Ia berpikir bagaimana agar becak kayuh miliknya bisa berlari lebih cepat dan tak mengandalkan kaki manusia. Ferry mulai mengambil kertas dan pulpen/pensil, lalu mencoba membuat gambar. Ini dilakukannya setiap hari sembari mengayuh becak. “Semacam desain,” tulis Syam, “ada satu dua bulan dia utak-atik menyempurnakannya”. Sang istri, Ramlah Uno pun penasaran. Asbab ia melihat “Ferry bahkan tak bisa tidur. “Sebentar-sebentar [ia] bangun, menyelesaikan gambar itu”.

Tiba saatnya desain itu rampung. Rangka becak yang sering digunakan untuk mengais rupiah itu lalu dipotong, kemudian dia sambung dengan bodi motor yang lengkap dengan mesinnya. Konon, motor itu adalah Honda 70 yang sudah cukup lama berdiam diri di bengkel dan tak kunjung diambil oleh pemiliknya. Modifikasi itu selesai hanya dalam waktu sehari. Ferry begitu senang. Ia mengemudikan mesin tanpa nama hasil keringatnya sendiri ke mena-mana. Ferry menjadi artis dadakan. Semua mata tertuju padanya di setiap sudut jalan. Satu masa, orang bertanya kepada Ferry soal mesin yang ditungganginya. Ferry menjawab “Bentor, singkatan dari becak motor”. “Bentor? Ah, tidak pas singkatannya itu, soalnya ada huruf ‘n’” jawab si penanya. “Yang, kalau begitu, sebut saja becak motor,” tukasnya.

Masa-masa Peralihan

Masih pada tahun 1998. Semua orang penasaran dengan temuan Ferry. Pernah sekali, tulis Syam, segerombolan orang pernah mencegat Ferry karena bentornya itu. Bahkan setiap pagi buta, sewaktu Ferry dan keluarganya masih tidur, beberapa orang kerapkali mengetuk pintu rumah mereka. Alasannya sederha: bentor. Mereka ingin menyaksikan keunikan temuan Ferry itu. Alhasil, banyak orang yang ingin meniru karyanya. Sebelumnya, tulis Syam, STM (Sekolah Teknik Menengah) juga sudah pernah memuat model yang sama, namun posisi penumpang berada di samping sebagaimana lazim terlihat di Aceh. Untuk itu, bentor ala Ferry terlihat lebih unik.

Meskipun demikian, orang-orang masih takut menaiki bentor temuan Ferry itu. Alasannya adalah keselamatan. Tapi Ferry juga tak habis akal. Dibalasnya keraguan itu dengan menjejalkan bentornya secara gratis. Tiga bulan dijadikannya sebagai upaya perkenalan sekaligus promo. Bahkan, ia bersedia membayar orang yang mau menaiki bentornya. Cara seperti ini dilakukan Ferry untuk membangun kedekatan dan kepercayaan para pelanggan. Ferry hanya ingin memberitahu satu hal: bentor ini adalah moda transportasi baru yang aman untuk dinaiki.

Kendala lain juga dalah pihak kepolisian. Tak tahu sudah berapa kali Ferry dicegat saat melintas dengan bentor, sebagaimana tulis Syam “siang ditilang, sore dikeluarkan lagi, lagi dan lagi”. Alasan ini menurutnya juga masuk akal: bentor belum disetujui sebagai moda transportasi resmi oleh pemerintah; namun menahannya juga kurang alasan. Ferry tak kapok. Ia terus memperkenalkan bentor kepada masyarakat Gorontalo. Alhasil, bentornya berhasil berkeliaran dengan bebas bahkan mampu menggaet penumpang lebih banyak. Sayang, saya tak melihat Syam membahas bagaimana respon angkot di Gorontalo dengan kehadiran bentor milik Ferry. Apa mungkin kehadirannya tidak mengancam moda transportasi lain?

Memasuki tahun 2000, bengkel milik Ferry yang mati suri akhirnya hidup kembali. Bengkel ini menjadi satu-satunya sentrum produksi bentor. Ferry merekrut lima orang karyawan yang kemudian bertambah menjadi 14 orang. Sebagian besar dari montir ini adalah saudara dan ipar-iparnya yang kurang lebih menggeluti dunia otomotif yang sama dengan Ferry. Mulailah kejayaan Panbers itu bersinar. Panbers, bagi Ferry saat memberi kesaksian kepada Syam “[adalah] Pandai Besi Bersaudara”. Para Panbers alhasil mulai merakit bentor bersama-sama. Mereka menyempurnakan bodi bentor, melengkapinya dengan bumper penahan benturan di bagian depan. “Pokoknya,” tukas Syam, “ciamik punya!”

Ferry menjadi bos. Pesanan mulai datang dari mana-mana. Tahun 2001-2002, Ferry mulai kebanjiran pesanan dari luar daerah. Mula-mula Kotamobagu, Sulawesi Utara, lalu meluas hingga ke Makassar, Surabaya, Lampung, dan Palembang. Produksi ini terus berdenyut selama tiga bulan berikutnya. Satu unit kepala bentor (tanpa mesin motor) dilepasnya dengan harga Rp. 1.500.000. Pokoknya rata. Jauh dekat! Bahkan satu ketika Ferry pernah didatangi  oleh orang Yaman yang merasa tertarik dengan buah tangannya. Ia lalu memesan dua unit untuk diperpak dan diterbangkan menggunakan jasa kargo udara dengan masing-masing seharga 3 juta rupiah.

Ferry ternyata tidak sendiri. Banyak produsen bengkel yang mulai merancang rangka bentor lalu menjualnya. 5 orang bekas anak buahnya pun keluar, mendirikan bengkel sendiri, dan mulai memproduksi bentor untuk dijual ke orang lain. Perasaan Ferry campur aduk. Ia boleh saja dikenal sebagi inventor bentor pertama. Ia juga menjadi orang yang mengajarkan beberapa anak buahnya untuk merakit dan merancang bentor. Namun pada akhirnya, ia ditinggalkan. Satu kalimat yang saya pikir mampu mengunci kekecewaan sekaligus kebanggan Ferry adalah “yah namanya juga manusia, mereka membuat saya senang sekaligus kecewa, banyak yang melupakan saya begitu saja”.

Perlahan tingkat produksi bentor Ferry merosot drastis. Sebulan brangkali hanya bisa menghasilkan tiga hingga lima unit bentor. Karyawannya juga hanya tersisa satu orang, sedang 13 lainnya, barangkali sudah merintis usahanya sendiri. Tapi anehnya, Ferry tak bersedih. Ferry tak peduli dan tetap berdiri di jalan yang sama. Ia juga bersyukur lantaran dari hasil keringatnya, dari seluruh hasil pencapaiannya, anak-anaknya bisa sekolah dan meraih gelar sarjana. Di tahun 2011, ketika tulisan Syam itu dipublikasikan, katanya ada seorang pejabat yang datang dan hendak memberi penghargaan kepada Ferry. Ia mendapat undangan beberapa kali terkait pengurusan hak cipta. Sayang, semuanya delay. Semuanya tidak jelas.

Satu ketika Syam pernah menujuk bentor pertama buatan Ferry yang bermesin Honda 70 itu. Kata Syam “Oom, barang pusaka ini harus dirawat biar jadi koleksi museum, sayang sekali”. Ferry berkata “sebenarnya begitu, tapi beberapa bagian mesinnya sudah saya preteli setiap kali butuh. Lumayan, harga besi tua lagi bagus”. Setelah menyatakannya, Ferry lalu tertawa lepas.

Sebuah Cara Menghargai: Antara Ferry dan Einstein

Dua kalimat yang saya beri tanda kutip itu adalah akhir tulisan Syam. Saya tak tahu, namun membacanya, perasaan saya mendidih. Syam menarasikan kehidupan Ferry dengan begitu baik. Syam juga berhasil merangkum hitam-putih di dalam dunia Ferry dengan sangat piaway: mulai sejak dihantam krismon, menemukan bentor, berjaya sekali lagi, sekaligus kesedihan yang dipeluknya di waktu-waktu akhir ketika produksi bentornya menyusut.

Di dalam kehidupan Ferry, saya menyadari juga menyadari banyak hal. Ferry, pertama, bukan seorang Sisyphus yang berhenti pada takdir untuk mendorong dan menjatuhkan batu dalam durasi waktu yang tak berkesudahan. Ferry melampaui Sisyphus. Ia berhasil keluar dari gempuran ekonomi yang membuatnya bekerja sebagai pengayuh becak selama bertahun-tahun.

Saya pikir, jika ingin membandingkan, Ferry juga jauh lebih dari Einstein, seorang penemu teori relativitas. Apa sebab? Einstein lahir dari keluarga yang cemerlang. Ayahnya, Hermann Eisntein adalah penekun elektrokimia sekaligus insinyur. Sedang Ferry? Hanyalah orang biasa yang, barangkali memang hidup dalam tekanan ekonomi yang mengguncang-guncang sedari awal.

Einstein juga bersekolah tinggi-tinggi. Ia menamatkan pendidikan akhir sebagai seorang doktor dalam bidang fisika teoritis di Universitas Zurich, Swiss pada tahun 1905. Sedang Ferry? Ia hanyalah tamatan SMP. Ia tak bisa mengerjakan soal kalkulus dan algoritma. Ferry juga hidup dalam keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah; sedang Einstein, sudah dari sononya lahir dari keluarga yang kaya. Tapi satu hal yang membuat Ferry begitu berarti adalah ia berhasil selamat dari himpitan ekonomi akibat krisis moneter yang hampir meregang nyawa keluarganya.

Sayang, karir Ferry tak secemerlang Einstein. Jangankan nobel, tanda apresiasi atas temuan bentor yang hari ini berhasil menjadi tulang punggung sebagian masyarakat Gorontalo juga tidak diperolehnya. Ferry selalu dijanjikan memperoleh hak cipta atas temuannya. Namun itu hanya janji. Kesohoran Ferry pun tak selamanya sebagaimana Einstein diingat di ruang publik sebagai intelektual raksasa. Namanya tidak ada di kolom-kolom pelajaran Muatan Lokal Gorontalo, sebagaimana nama Einstein yang bertengger pada puncak buku-buku pelajaran fisika di sekolah-sekolah, lebih-lebih di universitas. Semua orang Gorontalo barangkali mengenal Einstein, tapi mereka tidak mengenal Ferry—meskipun keduanya sama-sama inventor.

Kisah mengajarkan saya bahwa bangsa yang selalu mengagung-agungkan kebesarannya, ternyata tidak mampu mengapresiasi karya seseorang. Padahal, dari sikap mengapresiasilah kebesaran suatu bangsa ini bermula. Saat ini, banyak bentor yang telah mengalami modifikasi yang pesat sejak pertama kali ia ditemukan lewat tangan cekatan Ferry. Belakangan, bentor bahkan telah terintegrasi dengan platform-platform digital seperti gojek. Tapi adakah yang pernah mengingat Ferry sebagai orang pertama yang menemukan bentor? Saya kira tidak. Ketika saya mencari asal-usul bentor di internet, bahkan tidak ada sama sekali berita yang memuat nama Ferry sebagai inventor pertama. Jika satu saat ada pejabat yang tergerak, tetapkanlah 5 atau 6 Juni sebagai hari adalah kelahiran bentor! Biar Ferry diingat di dua tanggal itu.

Saya tak tahu bagaimana nasib Ferry sekarang. Saya tidak tahu apakah ia masih sehat-sehat, sakit-sakitan, atau barangkali sudah tiada? Namun jika ia masih hidup, dan suatu saat diijinkan bertemu, saya akan memeluknya dan mengucapkan terima kasih. Tapi apa benar, semudah itukah kita melupakan?

Dari tulisan diatas, mimin berharap untuk kita sebagai masyarakat Indonesia, jangan pernah melupakan orang-orang yang telah berjasa buat daerah bahkan negara, hargai karya bukan hanya dengan materi tapi dengan mengingat jasa mereka saja udah cukup, Insya Allah dengan menghargai para penemu maka akan lahir penemuan-penemuan baru, agar Indonesia kita akan bisa bersaing dengan negara-negara lainnya.

Aamin.!!!


SEARCH DISINI :

Related posts